BALITBANGHUB DAN UGM KAJI PENGELOLAAN SATWA LIAT DI SEKITAR BANDAR UDARA SEBAGAI UPAYA KESELAMATAN PENERBANGAN

Jakarta—Keselamatan dan keamanan penerbangan merupakan prioritas utama dalam penyelenggaraan transportasi udara. Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan stakeholder terkait adalah pananggulangan serangan burung dan hewan liar di kawasan bandar udara. Oleh sebab itu, Badan Litbang Kemenhub berkolaborasi dengan Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar kegiatan webinar dengan tema “Harmonisasi Kebijakan Pengelolaan Ekosistem di Sekitar Bandra Udara Untuk Penanggulangan Satwa Liar” yang dilaksanakan pada Selasa (23/11).

“Keberadaan satwa liar di sekitar bandar udara merupakan hazard bagi penerbangan. Pergerakan burung secara tunggal atau kelompok di ruang udara di area bandara udara ataupun hewan ternak dan hewan liar yang masuk area bandar udara melewati batas perimeter sangat membahayakan pengoperasian pesawat udara,” jelas Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Transportasi Udara, Capt. Novyanto Widadi.

Novy menambahkan, untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan adanya Biodiversity Management System (BMS) dalam menunjang peningkatan keamanan dan keselamatan di dunia penerbangan. “Sesuai dengan Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation Organization) dan European Aviation Safety Agency (EASA) Safety Information Bulletins tentang Wildlife Control and Reduction diharapkan safety management system dapat dimanfaatkan dengan lebih efektif dan efisien,” ungkapnya.

Wakil Rektor UGM Bidang SDM dan Aset, Prof. Bambang Agus Kironoto menyampaikan bahwa salah satu hal yang perlu menjadi perhatian untuk mendapatkan kemanan dan keselamatan penerbangan adalah memastikan tidak ada satwa liar yang mengganggu penerbangan, khususnya saat lepas landas maupun mendarat.

“Ekosistem hewan yang berpotensi membahayakan pengoperasian pesawat udara mayoritas berada di luar area bandara, sehingga dalam penanggulangan hewan liar diperlukan pengelolaan ekosistem dan tata guna lahan di sekitar bandar udara. Oleh karena itu, pengendalian ekosistem memerlukan kerja sama dan koordinasi antara berbagai sektor sehingga tersusun kebijakan dan strategi yang tepat dalam menjaga ekosistem sumber daya alam di sekitar bandar udara dengan tetap mengutamakan keselamatan penerbangan,” imbuhnya.

Dalam pemaparan materinya, Tim Ahli Pustral UGM, Prof. Agus Taufik Mulyono menyampaikan bahwa kebijakan pengelolaan ekosistem bandara terbagi menjadi ekosistem di dalam bandara dan di luar bandara.

“Ketika kita berbicara mengenai ekosistem di luar bandara diperlukan adanya peran pemerintah daerah, instansi terkait, stakeholder dan masyarakat secara umum. Diperlukan pengendalian tata ruang di kawasan luar bandara. Sedangkan di dalam bandara sudah ada aturan-aturan secara internal dari Kementerian Perhubungan bahkan sampai dengan operasional di tataran penyelenggara bandar udara,” ujar Prof. Taufik.

Dari hasil kajian yang telah dilakukan terdapat 3 aspek yang perlu dilakukan dalam pengelolaan ekosistem di sekitar bandar udara, antar lain:

1.    Harmonisasi kebijakan mencakup penerbitan NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria) terkait proses penataan ruang, prosedur penetapan izin penanggulangan satwa liar khususnya di kawasan bandar udara. 

2.    Harmonisasi kelembagaan, perlu adanya perluasan tugas dan fungsi dari Forum Koordinasi Penataan Ruang Daerah serta adanya sinkronisasi kelembagaan pusat dan daerah dalam mitigasi penaggulangan satwa liar.

3.    Komparasi, Perdirjen Hubud No.SKEP/42/III/2010 perlu ditingkatkan menjadi Permenhub untuk mengatur secara vertical persoalan-persoalan terkait mitigasi penanganan satwa liar di bandara. Selain itu, diperlukan adanya Peraturan Presiden yang membahas sinkronisasi dan koordinasi antar Kementerian/Lembaga,mPemerintah Pusat dan Daerah serta stakeholder terkait dalam penaggulangan satwa liar di luar kawasan bandara dalam penataan tata ruang. Kemudian perlu adanya ruang kesepakatan antar Kementerian/Lembaga yang dijalin dengan memanfaatkan UU No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 

Salah satu pembahas yang merupakan perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Moh. Haryono menyebutkan dalam mitigasi pembangunan bandar udara terhadap kehidupan satwa liar sekaligus meminimalkan gangguna risiko penerbangan dari gangguan satwa liar dapat dilakukan dengan clustering ruang berdasarkan sebaran habitat satwa liar. 

“Terdapat tiga cluster yang dihasilkan, yang pertama adalah Avoid Cluster merupaka  habitat satwa liar yang perlu dihindari dari pembangunan karena area tersebut merupakan habitat utama dari satwa liar shingga perlu adanya pengamanan dan perlindungan satwa liar, kedua adalah Minimize Cluster marupakan habitat satwa liar yang dapat dilakukan pembangunan dengan menerapkan rekayasa green infrastruktur seperti penggunaan jalan laying, parit pembatas, pagar listrik dan yang ketiga adalah Restore Cluster merupakan habitat satwa liar yang terdegradasi dan perlu adanya pemulihan ekosistem agar satwa dapat tercukupi kebutuhan hidupnya,” ungkapnya.

Sementara itu, Vice President Airport Planning and Development Angkasa Pura I, Widodo menyampaikan bahwa pihaknya telah menyususn aturan-aturan internal terkait pengelolaan bahaya satwa liar (wildlife hazard management).

“Di kantor kami terlah dibentuk untit-unit khusus yang mewadahi pengelolaan satwa liat. Unit-unit tersebut bertugas untuk membina sekaligus membuat kebijakan terkait permasalahan satwa liar. Bahkan di kantor cabang terdapat unit-unit yang terlibat langsung dalam penindakan satwa liar di lapangan dan komite penanggulangan satwa liar,” jelasnya.

Widodo menambahkan, Angkasa Pura I telah menyusun perencanaan terhadap pengelolaan bahaya satwa liar baik jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk kegiatan jangka panjang, dengan membuat habitat yang tidak nyaman/tidak menarik bagi satwa liat untuk beraktifitas di Bandar Udara dan melakukan rekayasa ruang terbuka hijau (RTH) sebagai habitat penarik satwa dari bandara. 

Sementara untuk kegiatan jangka pendek, memanfaatkan noise deterrent sebagai alat pengusir burung, simulasi ancaman yakni upaya pengusiran secara manual, pemasangan perangkap, penggunaan predator terlatih untuk melakukan pengusuran dan sebagai pilihan terakhir adalah pemusnahan/pembunuhan bagi satwa yang tidak dilindungi. Selain itu, dilakukan pemeliharaan infrastruktur, pemeliharaan vegetasi, pemeliharaan peralatan, pengelolaan sampah, patrol dan inspeksi dan penyusunan database identifikasi wildlife hazard. 

Turut hadir dalam webinar kali ini, Tim Kajian Pustral UGM, Muhammad Ali Imron dan Doddy Aditya Iskandar; perwakilan dari Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Kementerian ATR/BPN, Agus Santoso; Direktur Safety Air Asia Indonesia, Capt. Rd. Achmad Sadikin; Dosen Prodi Teknik Sipil dan lIngkungan ITB, Sony Sulaksono Wibowo.

Komentar

Tulis Komentar