DUA SISI TOL LAUT DI BERANDA NUSANTARA

Tahuna di Sulawesi Utara dan Natuna di Kepulauan Riau termasuk dalam wilayah 3TP (Tertinggal, Terluar, Terpencil dan Perbatasan) dan menjadikan transportasi laut sebagai penunjang utama kegiatan ekonominya. Adanya keterbatasan kemampuan produksi lokal mengakibatkan pemenuhan kebutuhan masyarakat dilakukan melalui perdagangan antar daerah dengan transportasi laut sebagai penunjang utamanya. Kondisi tersebut menjadikan ketimpangan ekonomi seperti inflasi dan disparitas harga yang tinggi sebagai permasalahan di daerah ini.

Tol Laut sebagai program strategis pemerintah hadir untuk mendistribusikan bahan pokok dan penting (bapokting) dalam bentuk angkutan laut khusus bersubsidi dengan trayek yang menghubungkan pusat ekonomi di Jawa dengan wilayah 3TP. Natuna dilayani oleh trayek T3 dan Tahuna dilayani oleh H-1 dan T-5. Dinamisnya perubahan trayek Tol Laut di kedua wilayah ini akan berdampak pada efektivitas program, sehingga diperlukan dievaluasi berdasarkan aspek lokasi pelabuhan, konektivitas, fasilitas pelabuhan, spesifikasi kapal liner, potensi kapal feeder, kinerja produksi Tol Laut, hinterland, serta administrasi dan komersial.

Pelabuhan Tahuna dan Natuna terletak di lokasi yang terlindungi secara alami sehingga dapat beroperasi sepanjang tahun. Meskipun demikian konektivitas ke wilayah pusat ekonomi di Jawa (Jakarta dan Surabaya) sangat tergantung dari trayek liner Tol Laut, sementara untuk ke ibukota provinsi mengandalkan kapal penumpang, perintis laut dan perintis penyeberangan. Terdapat trayek lain yang juga terkoneksi dengan pusat ekonomi di Jawa berupa trayek tramper yang frekuensinya tidak teratur. Ketersediaan trayek menjadi indikator utama dalam aspek konektivitas dan dapat mengakomodasi permintaan trayek baru dari pemerintah daerah setempat. Tahuna dilayani oleh H-1 dan T-5, sementara Natuna dilayani oleh trayek T3. Kapal Tol Laut liner saat ini menggunakan kapal container, sementara untuk angkutan feeder Tol Laut idealnya menggunakan kapal perintis laut dengan pertimbangan ketersediaan trayek lanjutan, jumlah kargo yang sedikit dan tarif yang lebih murah.

Dukungan fasilitas pelabuhan sangat diperlukan untuk efisiensi Tol Laut karena sebagian besar waktu pelayanan per voyage terpakai untuk port time seperti kegiatan bongkar muat, stuffing-unstuffing container, distribusi muatan ke consignee maupun menunggu muatan balik dari hinterland. Keterbatasan peralatan bongkar muat di pelabuhan Natuna sangat mempengaruhi waktu bongkar muat, dengan hanya mengandalkan crane kapal dan forklift di pelabuhan yang hanya berkapasitas 1,5 ton maka kegiatan bongkar muat dan konsolidasi kargo hanya bisa dilakukan di dermaga secara bergiliran dan manual oleh TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat) kuli panggul sehingga turn round time Tol Laut bisa mencapai 4 hari. Sebaliknya di pelabuhan Tahuna telah tersedia forklift 28 ton sehingga sebagian container yang diturunkan di dermaga dapat dipindahkan ke container yard, meskipun sama-sama dikerjakan oleh TKBM kuli panggul namun dengan adanya dukungan peralatan bongkar muat yang baik maka jumlah container yang bisa ditangani sekaligus menjadi lebih banyak sehingga turn round time Tol Laut di pelabuhan Tahuna hanya maksimum selama 2 hari. Kedua pelabuhan ini memiliki keterbatasan fasilitas gudang dan container yard yang belum mampu menangani reefer container sementara kedua daerah ini memiliki potensi muatan balik produk perikanan yang jumlahnya sangat banyak. Keterbatasan reefer container yang dapat diangkut oleh kapal Tol Laut juga menjadi permasalahan utama yang sering dikeluhkan oleh pengguna jasa karena hanya mampu mengangkut sekitar 5 unit reefer container sehingga tidak semua pengguna jasa bisa mendapatkan kuota reefer container per voyage.

Pemenuhan supply-demand bapokting di Tahuna dan Natuna akan sangat bergantung kepada kuota muatan dalam SOP Pemesanan Ruang Muat Kapal dan Penerbitan Shipping Instruction Tol Laut. Berdasarkan persamaan penentuan kuota tersebut ditemukenali bahwa kapasitas kapal merupakan nilai predetermined karena bergantung dari asset kapal yang dimiliki oleh operator. Terjadi potensi berkurangnya kuota muatan dari suatu daerah jika ada penambahan pelabuhan singgah baru. Trayek T-3 di Natuna (dan Anambas) awalnya hanya melayani 2 pelabuhan singgah saat ini bertambah menjadi 9 pelabuhan, sementara T-5 hanya melayani 3 pelabuhan. Tol Laut dapat berkurang efisiensinya jika wilayah pelayanan dalam satu trayek makin meluas. Program Tol Laut di Tahuna mampu memenuhi supply-demand bapokting dalam jumlah yang signifikan dan didukung dengan partisipasi aktif pemerintah daerah untuk mengawasi perdagangan di wilayahnya menjadikan kargo Tol Laut mampu menurunkan disparitas harga, sebaliknya Tol Laut di Natuna belum memenuhi supply-demand bapokting secara signifikan sehingga belum mampu menjadi pengendali disparitas harga. Penurunan disparitas harga adalah muara dari program Tol Laut. Harga jual bapokting pada konsumen akhir merupakan perilaku pasar yang didasari oleh pertimbangan pedagang terhadap faktor pembentuk harga. Dalam SOP Shipping Instruction terdapat pakta integritas yang menyatakan bahwa consignee atau reseller akan menjual bapokting lebih murah jika dibandingkan dengan tanpa memanfaatkan program Tol Laut.

Bapokting Tol Laut memerlukan pengawasan pada saat mencapai tujuan akhir di lokasi consignee atau reseller oleh instansi yang memiliki kewenangan di bidang perdagangan dengan berpedoman pada regulasi terkait. Biasa ditemukan pelanggaran pakta integritas dimana reseller menjual bapokting Tol Laut lebih tinggi dari harga rata-rata yang berlaku. Pada Kepdirjen Hubla No KP.804/DJPL/2021 terdapat bagian khusus yang mengatur tentang sanksi pada pelanggaran dalam ruang lingkup distribusi khususnya pada aktivitas kepelabuhanan, pengapalan, dan kesesuaian dokumen, sedangkan pada Kepdirjen PdN Nomor 41 tahun 2018 tidak ada pengaturan mengenai sanksi. Mekanisme sanksi pada Kepdirjen Hubla No KP.804/DJPL/2021 tidak dapat digunakan untuk tindak lanjut temuan yang terkait dengan pelanggaran pakta integritas, karena pelanggaran tersebut sudah menjadi ranah kegiatan perdagangan yang idealnya diwadahi oleh regulasi yang terkait dengan perdagangan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Tol Laut sebagai program strategis pemerintah memperlihatkan pencapaian yang berbeda di masing-masing wilayah. Produksi supply-demand Tol Laut di wilayah Tahuna cukup signifikan sehingga menjadi pengendali disparitas harga, sebaliknya di Natuna kurang signifikan. Produksi Tol Laut dipengaruhi faktor kelengkapan fasilitas pelabuhan, spesifikasi kapal, dukungan hinterland, serta aspek administrasi dan komersial. Implementasi dan pengawasan program Tol Laut di hulu dan hilir diatur oleh regulasi yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh multi instansi.

Penulis : Abdy Kurniawan, S.T., M.M. ; Kadek Irma Paramita Yasadhi, S.T. ; Achmad Andhika Kharisma, S.T.(TD)., M.M.Tr.


Komentar

Tulis Komentar