DUKUNGAN IMPLEMENTASI SAF DI INDONESIA

Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia memiliki target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29% secara mandiri dan 41% dengan bantuan internasional. Namun, baru-baru ini Indonesia menaikkan target penurunan emisi menjadi 31,89% secara mandiri dan 43,20% dengan bantuan internasional di tahun 2030 mendatang.

Indonesia memiliki komitmen untuk mencapai net zero emissions pada tahun 2060. Upaya untuk mencapai Net Zero Emission tidak bisa dicapai secara individual melainkan membutuhkan kolaborasi untuk mengembangkan dan mewujudkan solusi-solusi inovatif dan masif. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mengalihkan penggunaan energi fosil menuju energi terbarukan.

Selaras dengan Keputusan Menteri Perhubungan No. KP.201 Tahun 2013 tentang Penetapan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Perhubungan (RAN-GRK Perhubungan) sektor transportasi penggunaan energi terbarukan mulai dilakukan dengan adanya pengembangan bahan bakar penerbangan berkelanjutan (Sustainable Aviation Fuel/SAF). Salah satu kelebihan SAF adalah kemiripannya dengan bahan bakar konvensional, dapat langsung digunakan oleh pesawat yang sudah ada jika proses konversi bahan baku ke SAF sudah sesuai standar.

Pengembangan SAF merupakan salah satu pilihan yang cukup potensial untuk mengurangi emisi karbon. ICAO selaku Lembaga internasional yang menaungi penerbangan menyebutkan bahwa suatu biofuel atau bio avtur dapat dikategorikan sebagai SAF apabila telah lolos dalam Life Cycle Assessment (LCA) untuk mengetahui emisi produk dalam satu siklus.

Upaya Pemanfaatan SAF di Indonesia

Di Indonesia, pengembangan SAF dalam bentuk biofuel telah diinisiasi oleh Pertamina bekerja sama dengan Intitut Teknologi Bandung (ITB) dengan menghasilkan komposisi campuran 2.4% biofuel berupa bahan bakar J2.4. Bahan bakar yang terbuat dari minyak inti sawit dan katalis merah putih ini telah diuji coba terbang menggunakan pesawat CN-235.

Namun, hasil tersebut belum memenuhi target yang telah ditetapkan dalam Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2015 yang menyebutkan target presentase campuran untuk bahan bakar nabati sebesar 5% di tahun 2025. Selain itu biofuel J2.4 belum mencapai sertifikasi kriteria SAF yang diakui ICAO.

Keterbatasan dan kesediaan kilang oleh Pertamina yang dedicated untuk membuat biofuel menjadi salah satu kendala. Selain itu, keterbatasan kapasitas produksi kilang J2.4 yang dikembangkan Pertamina dinilai masih belum memenuhi aspek sustainability dari SAF yang dihitung melalui LCA. Berdasarkan sumber dari INACA, diprediksi aka nada kenaikan harga bahan bakar sebesar 10% dengan adanya pencampuran 5% biofuel, sehingga diperlukan skema intensif dalam implementasi SAF di Indonesia.

Badan Kebijakan Transportasi melalui Pusat Kebijakan Prasarana Transportasi dan Integrasi Moda melakukan analisis kebijakan untuk implementasi SAF agar memenuhi target presentase campuran dan pemenuhan kriteria SAF yang sesuai dengan kriteria ICAO. Dari hasil analisis terdapat beberapa rekomendasi kebijakan, antara lain:

1. Perlunya koordinasi yang intensif terkait arah implementasi SAF yang melibatkan berbagai stakeholder (Kementerian dan Lembaga) dengan melakukan:

- Pemetaan stakeholder yang terlibat dalam pengembangan SAF sesuai dengan fokus di bidangnya masing-masing

- Mendorong perumusan kerja sama antara Pusat Pengelolaan Transportasi Berkelanjutan dan Direktorat jenderal Perhubungan Udara dengan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM.

2. Perlu adanya pengawasan dari Kementerian ESDM, Kemenhub dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam pengembangan bahan bakar J5 agar sesuai dengan target campuran yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015.

3. Perlu adanya tinjauan lebih lanjut terkait potensi sumber lain untuk bioavtur seperti dari mienyak bekas pakai (used cooking oil) oleh BRIN.

4. Perlu ada perumusan kebijakan yang disusun berdasarkan kajian lebih lanjut mengenai potensi kenaikan operating cost ketika SAF diimplementasikan secara komersial sehingga tidak membebani operator angkutan udara nantinya.

5. Selain pengembangan biofuel di dalam negeri, para stakeholder perlu melakukan koordinasi untuk mempertimbangkan key success factors penyelenggaraan kerja sama dengan produsen SAF luar negeri yang telah berhasil memproduksi dan mengembangkan SAF.

Komentar

Tulis Komentar