OPERASI DRONE DALAM PENDISTRIBUSIAN LOGISTIK KE WILAYAH TERPENCIL, TERLUAR, TERTINGGAL (3T) DAN WILAYAH RAWAN BENCANA

Penggunaan drone di seluruh dunia, semakin meluas di berbagai bidang, baik di ranah militer maupun sipil seiring dengan pemutakhiran teknologi. Salah satu potensi yang menjadi fokus saat ini adalah pemanfaatan drone sebagai wahana pengangkutan barang, dari barang-barang kecil yang bersifat insidentil hingga barang-barang pokok yang bersifat rutin (logistik). Drone sebagai wahana pengangkutan logistik, atau yang dikenal sebagai drone kargo juga berpotensi mengurangi biaya logistik hingga 30% dengan memotong mata rantai logistik, mengurangi waktu pengiriman, menghilangkan kebutuhan akan infrastruktur besar, mengurangi jumlah sumber data manusia (SDM) yang terlibat, serta mengurangi kemungkinan layanan yang buruk.

Drone kargo ini pun memiliki potensi tambahan, yakni untuk membantu distribusi logistik untuk wilayah-wilayah terpencil, terluar, dan tertinggal (3T) dan wilayah rawan bencana, di seluruh pelosok Indonesia. Meskipun demikian, kondisi di Indonesia saat ini masih belum dianggap ideal untuk pemanfaatan drone kargo sepenuhnya, dimana hal ini tidak hanya terbatas pada segi ketersediaan teknologi di dalam negeri, tetapi juga pada kendala non teknis seperti rendahnya kesadaran pengguna, infrastruktur, hingga kurangnya kesiapan perangkat regulasi operasi drone. Oleh karena itu dilakukan suatu kajian dalam rangka mengevaluasi regulasi serta merumuskan tambahan regulasi yang diperlukan, agar operasi drone kargo di ruang udara sipil Indonesia, untuk distribusi logistik ke wilayah 3T dan rawan bencana, dapat terwujud dengan terkendali.

Perkembangan Teknologi dan Operasi Drone Kargo

Ada empat parameter yang dapat disusun untuk mengkategorisasikan operasi drone kargo, yakni berdasarkan tipe wahana, berdasarkan metode pengantaran, berdasarkan tipe trayek, dan berdasarkan tipe kargo/barang yang dibawa

Beberapa drone yang dapat difungsikan sebagai kargo telah diidentifikasi dari berbagai tipe, termasuk di antaranya Drone WindRacer Ultra (fixed wing), drone DJI Matrices Pro (Multirotor), dan Drone AerialMetric Savior 330 (Hybrid/VTOL).

Adapun tipe barang-barang logistik yang diantar dengan drone saat ini, dapat dikategorisasikan sebagai berikut

1. Dokumentasi dan Alat Kantor (dokumen dan surat berharga, dokumen darurat)

2. Barang Industri (material beracun dan berbahaya, material dan suku cadang urgent, sensor khusus inderaja (remote sensing), dan cloud deeding)

3. Barang/bahan Medis (kantong darah, suplai medis, vaksin)

4. Darurat Kebencanaan (suplai barang darurat, P3K dan peralatan medis, peralatan telekomunikasi SAR)

Analisis Kelayakan Operasi Drone Kargo di Wilayah 3T dan Wilayah Rawan Bencana

1. Kebutuhan area take-off dan landing

Berdasarkan beberapa data pengujian kasus landing drone, tercatat bahwa rata-rata deviasi landing terhadap posisi take-off adalah 49 cm dan maksimum deviasi mencapai 99 cm. Dengan kata lain, untuk memenuhi kriteria deviasi landing drone dibutuhkan area dengan ukuran radius 1 m. Selain itu, jarak minimum yang dibutuhkan untuk clear area dari drone adalah 3 m sehingga minimum ukuran area yang dibutuhkan adalah sekitar 8m x 8m untuk wahana dengan diameter 1.5 meter.

2. Operator penerbangan drone kargo

pengoperasian drone membutuhkan operator/crew yang terdiri dari beberapa posisi, yaitu Pilot, Asisten Pilot, dan Teknisi. Setiap crew harus terlatih dan menguasai deskripsi kerja di posisinya masing-masing untuk memastikan keselamatan terbang

3. Sensor Ketinggian Drone

Penggunaan/pemilihan drone yang memiliki sensor ketinggian bersifat Wajib untuk operasi penerbangan antar titik. Penggunaan sensor obstacle avoidance merupakan hal yang opsional.

4. Komunikasi Penerbangan

Sistem komunikasi jarak jauh antara drone dan ground sering kali menjadi salah satu masalah ketika drone ingin dioperasikan secara BVLOS. Walaupun demikian, drone tetap dapat beroperasi dengan baik jika drone dioperasikan secara autonomous dengan misi yang sudah terekam pada autopilot.

5. Prosedur Operasi

Setiap pengoperasian misi terbang drone, prosedur operasi menjadi salah satu kewajiban yang perlu diterapkan oleh operator karena menjadi poin utama untuk menjamin suksesnya operasi terbang tersebut. Prosedur operasi dapat berbeda-beda untuk setiap misi maupun unit drone yang digunakan.

Potensi Implementasi Drone Kargo dengan Regulasi di Indonesia

Indonesia cukup progresif dalam mengatur regulasi drone, dan termasuk mengambil pendekatan Experimental BVLOS. Saat ini, terdapat tiga regulasi yang mengatur drone di Indonesia, PM Nomor 63 Tahun 2021 yang berisi CASR Part 107, PM Nomor 34 Tahun 2021 tentang standar kelaikudaraan RPAS, dan PM Nomor 37 Tahun 2020 mengenai Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak. Tiga regulasi tersebut telah mencakup berbagai aspek mengenai kelaikan udara dan pengoperasian drone.

Pada tanggal 17 Juni tahun 2020, izin pertama untuk penerbangan drone secara BVLOS telah dikeluarkan Kementerian Perhubungan RI, untuk PT. Terra Drone Indonesia [27]. Hal ini menandakan bahwa meskipun tidak secara eksplisit tertulis, PM 37/2020 serta pelaksanaannya sudah mengakomodasi operasi drone BVLOS. Perbaikan narasi peraturan dan/atau penerbitan peraturan pelaksanaan, utamanya dalam segi penerbangan BVLOS, diperlukan untuk dapat menyokong dan mengakselerasi drone kargo di daerah 3T dan rawan bencana.

Adapun rekomendasi yang dapat diberikan dari segi operasi maupun regulasi drone kargo antara lain:

1. Perkembangan Teknologi dan Operasi Drone Kargo

Melihat perkembangan Teknologi Drone dan kebutuhan infrastruktur yang ada, drone bertipe hybrid/VTOL adalah yang paling cocok untuk memulai operasi drone kargo di wilayah 3T dan Rawan Bencana dalam waktu dekat ini.

2. Perkembangan Regulasi untuk Operasi Drone Kargo

  1. PM 37/2020 sebaiknya dilengkapi dengan pasal, atau ditambah peraturan teknis dalam hal: (i) perizinan yang berbasis IT, (ii) penerbangan BVLOS, infrastruktur (komunikasi dan frekuensi radio) dan UTM, (iii) pengamatan drone (tracking), serta (iv) metode penindakan pada pelanggaran.
  2. Penyederhanaan institusional diperlukan pada proses realisasi operasi drone kargo, dengan layanan satu pintu dan izin usaha yang tidak menganggap penerbangan drone dilakukan secara insidentil perorangan, tetapi secara masif, rutin dan dengan sebentuk maskapai drone kargo.
  3. PM 34/2021 sebaiknya juga mengakomodasi kelaikudaraan wahana drone dengan tipe multirotor dan tipe hybrid/VTOL yang menjadi tipe paling populer untuk drone saat ini, yang dapat juga berukuran besar.

3. Prospektif dan Kriteria Operasi Drone Kargo di Wilayah 3T dan Rawan Bencana

Operasi drone kargo yang paling direkomendasikan adalah operasi melewati daerah perairan/antar pulau dengan jarak tempuh pendek, di wilayah 3T. Contoh untuk ini adalah di kepulauan Nias (Sumatera Utara), Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat), dan Kepulauan Sulabes (Maluku Utara).

4. Kesiapan dan Koordinasi Kelembagaan untuk Operasi Drone Kargo

Instansi otoritas penerbangan (DKPPU, DNP, AirNav) dalam realisasi operasi drone kargo, untuk segera mengembangkan sistem IT yang terintegrasi untuk sertifikasi, registrasi, perizinan dan pengawasan, serta mulai mengalokasikan SDM khusus untuk drone.

5. Pengujian Operasi dan Studi Kelayakan Operasi Drone Kargo

  1. Drone multirotor kecil direkomendasikan untuk dipakai di daerah 3T dan rawan bencana, utamanya untuk membawa barang-barang insicdentil, mendesak, dan darurat.
  2. Daerah 3T dan Rawan Bencana direkomendaskan dalam suatu program pengujian langsung drone kargo dalam rangka sandboxing regulasi dan untuk mengetahui tantangan dan permasalahan sebenarnya sesuai keunikan setiap wilayah.

Komentar

Tulis Komentar