PENGENDALIAN TERMINAL BAYANGAN

Pembangunan infrastruktur jalan dan jalan tol yang terus bertambah turut mendongkrak minat pengguna bus. Namun hingga saat ini fenomena terminal banyangan masih banyak dijumpai di berbagai kota di tanah air. Banyak pengguna bus yang enggan masuk ke terminal dan memilih naik dan turun bus di agen, pool atau bahkan di pinggir jalan. Lokasi terminal bayangan yang lebih strategis karena lebih dekat dari rumah atau pusat kegiatan menjadi pemicunya.

Keengganan masyarakat untuk naik dan turun bus di terminal mengakibatkan para pengusaha bus melakukan jemput bola diantaranya menaikkan dan menurunkan penumpang di agen atau pool bahkan di pinggir jalan yang dianggap strategis. Hal ini seperti simbiosis mutualisme antara pengguna jasa dan penyedia jasa (operator bus) yang pada akhirnya mendorong tumbuhnya terminal bayangan.

Keberadaan terminal bayangan ini cukup merugikan penumpang, karena bus belum tentu layak beroperasi dan harga tiket di terminal banyangan juga bisa naik turun tanpa adanya pantauan pemerintah. Selain itu terminal bayangan juga menimbulkan kemacetan lalu lintas, mengurangi kenyamanan dan keamanan masyarakat sekitar, serta lemahnya pengawasan operasional bus oleh pemerintah.

Pengambalian Fungsi Terminal 

Dari berbagai peraturan perundang-undangan LLAJ, baik UU No 22 Tahun 2009 tentang LLAJ serta turunannya prinsipnya melarang operasional pool bus atau terminal bayangan sebagai tempat naik/turun penumpang. Pusat Kebijakan Lalu Lintas, Angkutan dan Transportasi Perkotaan (LLATP) telah melakukan observasi terkait fungsi terminal tipe A dan operasional terminal bayangan di empat kota, antara lain Jakarta, Medan, Solo dan Semarang.

Hasil obsevasi didapatkan bahwa saat ini sudah ada beberapa terminal tipe A yang direvitalisasi, namun jumlah SDM yang masih minim menyebabkan kurang maksimalnya fungsi pengawasan dan operasional di terminal. Selain itu, karena sebagian besar bus antar kota dan antar provinsi (AKAP) menaikkan dan menurunkan penumpang di terminal bayangan sehingga tidak masuk ke terminal tipe A. Berdasarhan hasil survey lapangan yang dilakukan di 3 terminal bayangan pada Kota Jakarta, Medan, Semarang dan satu Shelter di kota Surakarta, diketahui bahwa alasan utama penumpang naik-turun bus di terminal bayangan dikarenakan kemudahan akses dibandingkan menuju terminal resmi. Lokasi terminal resmi yang cukup jauh menambah waktu perjalanan dan biaya yang lebih mahal.

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan tim Analis Kebijakan Pusjak LLATP, terdapat beberapa rekomendasi kebijakan dalam penanganan terminal bayangan, antara lain:

1. Penerapan peraturan dan pengawasan yang konsisten

2. Peningkatan Pelayanan Angkutan Perkotaan Dan Angkutan Feeder

3. Pembangunan shelter/halte transisi berdasarkan demand di lokasi yang teruji dan harus memenuhi standar tertentu yang ditentukan oleh Pemerintah baik Pusat maupun Daerah;

4. Inovasi/Perbaikan Kartu Pengawasan Berbasis Digitalisasi

5. Penyusunan Standar Teknik Desain Dan Rancang Bangun Terminal Dengan Push Strategy Agar Penumpang Berpindah Moda Di Dalam Terminal

6. Penyusunan Standar Kerjasama Penyelenggaraan Terminal Penumpang Angkutan Jalan

7. Pengembalian Fungsi Terminal

Komentar

Tulis Komentar